Sunday 12 February 2023

Zaman Ninja Operasi naga merah dan naga hijau

 

Satrio Arismunandar - Bangkitlah Indonesia!

 ABG ABRI Golkar

Sobat, blog sederhana ini berisi berbagai karya saya, selaku jurnalis, dosen ilmu komunikasi, praktisi media, maupun pribadi. Maka, isinya pun bervariasi. Mulai dari artikel di media, materi kuliah yang saya ajarkan di kampus, makalah yang dipresentasikan di sejumlah training, sampai fiksi yang bernapaskan pribadi.... Semoga ada manfaatnya buat siapa pun... Karya yang tidak memberi manfaat sedikitpun bagi orang lain, adalah sebuah kesia-siaan ...


  1. (Dikutip dari status FB M Miftachul Munif)

    Guna melanggengkan dan memperkokoh kekuasaannya, pada awal dekade 1990, Presiden Soeharto, Penguasa Rezim Orde Baru, mengubah haluan persekutuan politiknya. Bila di awal kekuasaannya tahun 1967 dia membangun kekuasaannya lewat persekutuan dengan kelompok abangan-sekuler (Ali Moertopo, Sudjono Humardhani, Ali Wardana, JB Soemarlin, LB Moerdani dll), maka tahun 1990 ini Soeharto berbelok arah dengan membangun koalisi bersama kelompok Islamis modernis.
    .
    Monumen persekutuannya ini ditandai dengan dibentuknya ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) di Unibraw-Malang yang dipimpin oleh Mentistek BJ Habibie. Segera setelah terbentuknya ini, maka berbondong-bondonglah para intelektual kampus, birokrat, perwira ABRI, politisi parpol, budayawan, aktifis LSM, tokoh-tokoh ormas islam masuk ke ICMI dengan asa yang tentunya berbeda dari masing-masing individu. 
    Ada yang berharap akan mempercepat mobilitas karir politik, ada yang ingin memperkokoh kedudukan, ada yang pingin mendekat ke jantung kekuasaan, dan tak sedikit pula yang berharap bahwa inilah momentum bangkitnya ummat Islam untuk menebar dakwah di jantung kekuasaan sambil ikut serta menikmati kekuasaan.
    .
    Namun dari hampir mayoritas tokoh intelektual masyarakat Islam yang antusias masuk ke ICMI, hanya ada satu yang menolaknya. Dia adalah KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Ketua Umum Tanfidziyah PBNU. Gus Dur lebih memilih untuk mengurusi "Islam kaki lima" saja dan menolak masuk ICMI, yang dinilainya sebagai organisasinya para cendekiawan sektarian yang hanya dijadikan "state-corporation" oleh Rezim Soeharto. 
    Lebih lanjut Gus Dur menilai bahwa pendirian ICMI ini merupakan langkah bodoh dari Presiden Soeharto, karena memelihara anak macan yang kelak kemudian hari berpotensi mengancam keutuhan persatuan dan kesatuan di Republik ini. 
    Sikap dan pernyataan Gus Dur yang dikutip oleh jurnalis Adam Schwartz dalam bukunya "Nation in Waiting" ini sampai terdengar oleh telinga Soeharto. Tentu saja Soeharto murka bukan kepalang. Kemarahan Soeharto ini diwujudkan dengan ditingkatkannya intensitas tekanan, pembatasan, pencekalan pada personal Gus Dur, yang juga kemudian merembes kepada institusi jam'iyyah NU serta berdampak pula pada warga nahdliyyin di segala lini, di seluruh nusantara yang puluhan juta nominalnya.
    .
    Walaupun begitu, rejim Orba ini berhasil pula merekrut segelinitr warga nahdliyyin untuk ditundukkannya dan diajak bekerja sama untuk melakukan tindak oposisional terhadap Gus Dur, baik secara struktural ataupun kultural, melalui hegemoni pemikiran yang dipelintir, disinformasi isue, hoax, fitnah dan hate-speech terhadap personal Gus Dur. 
    Kepada segelintir nahdliyyin yang kooperatif dengan Orba ini, diganjar oleh rejim dengan fasilitas pangkat, jabatan dan uang. Misalnya diberikan jabatan politik di Golkar atau pondok pesantrennya diberi banyak bantuan uang dan berbagai fasilitas pengembangan dan pembangunan lainnya.
    .
    Gagasan pemikiran dan langkah-langkah Gus Dur yang progresif itu memang menimbulkan salah paham beberapa kalangan. Termasuk ketika Gus Dur justru membuat dan memimpin Forum Demokrasi bersama Djohan Effendi, Marsilam Simanjuntak, Rahman Tolleng dll, yang membuat para Kyai merasa kuatir akan makin marahnya Soeharto yang akan berdampak pada para beliau juga. 
    Tapi Gus Dur tetap teguh pendirian, karena Gus Dur juga mendapatkan dukungan, pembelaan dan dukungan oleh gurunya sendiri, yaitu Kyai Ali Maksum, (Rois Aam Syuriah PBNU 1980-1984), pengasuh pondok pesantren pondok Krapyak-Yogyakarta, (pondok dimana di sana aku pernah nyantri mengaji 😀🙏)... 
    Gus Dur pernah dipanggil dan disidang oleh para kyai yang kurang memahami langkah dan pemikiran Gus Dur itu. Dalam forum sidang para kyai itu, Gus Dur diadili, diinterogasi dengan berbagai pertanyaan atas tindak-tanduknya selama ini. Gus Dur bisa menjawab semua kesalahpahaman dan kekuatiran para kyai itu, serta memberikan penjelasan yang memuaskan dan diterima secara lapang oleh para Kyai. NU solid kembali.
    .
    Merasakan kondisi seperti ini, Soeharto dan para elit orde baru makin meradang. Mereka tidak mau ada oposisi di pemerintahannya. Gus Dur harus disingkirkan. Melalui jalur ABG (ABRI, Golkar dan Birokrasi) dibikinlah sebuah skenario operasi untuk mendongkel Gus Dur dari Ketum PBNU. 
    Kolonel Prabowo Subianto, anak menantu, menjadi salah satu motor dan operator pelanggengan kekuasaan sang mertua ini, mengambil langkah sigap. Prabowo ini sebelumnya punya kasus pribadi dengan atasannya, yaitu Jendral LB Moerdani (mantan Pangab dan Menhankam) yang dinilai menghambat karir dirinya dan teman-temannya dari faksi tentara "hijau". 
    Bersama dengan teman-temannya, seperti Kivlan Zein, Syafri Syamsudin, Zacky Makarim, dll dengan diback-up oleh KASAD Jendral R.Hartono, mereka membuat sebuah lembaga khusus yang dijadikan sebagai dapur pemikiran (think thank) untuk menopang dan menunjang kelanggengan kekuasaan koalisi Rejim Orde Baru dan kelompok islamis modernis fundamentalis, di luar ICMI yang sudah punya CIDES.
    .
    Maka dikumpulkanlah para intelektual islamis politik itu, seperti Dr. Din Syamsudin (Ketua Balitbang Golkar), Dr. Jimly As-Shiddiqy (dosen FH UI), Dr. Amir Santoso (dosen Fisip UI), Amran Nasution (wartawan Gatra), dan terbentuklah lembaga Centre for Development and Policy Studies (CPDS). 
    Lembaga ini dipercayakan kepemimpinannya pada Din Syamsudin di antaranya bertugas memikirkan strategi bagaimana membungkam dan menyingkirkan tokoh-tokoh kritis pada Soeharto yang sangat berpotensi menjadi oposan yang membahayakan kekuasaan. 
    Terutama tokoh kritis yang memiliki massa / pengikut dalam jumlah besar seperti Gus Dur dan Megawati (Ketum PDI hasil munas Surabaya 1993). Akhirnya diadakanlah apa itu yang populer disebut sebagai operasi naga hijau (untuk menyinhkirkan Gus Dur) dan naga merah (untuk mendongkel Megawati).
    .
    Target pertama adalah Gus Dur harus dilengserkan dari posisi Ketua Umum tanfidziyah PBNU. Maka pada momentum Muktamar NU ke-29 di Pesantren Cipasung, Tasimalaya-Jabar 1994, rejim Orba dengan segala daya upaya berusaha mendongkel Gus Dur. 
    Elit-elit Orba dari jalur ABG (ABRI, Golkar, Birokrasi) di seluruh wilayah Indonesia diperintahkan untuk meendekati, mempengaruhi, memfasilitasi para kyai pengurus cabang dan wilayah NU di seluruh kabupaten/kota dan provinsi di Indonesia agar pada muktamar cipasung nanti jangan memilih Gus Dur sebagai Ketum PBNU. Mereka sudah diperintahkan untuk memilih Abu Hasan, tokoh bonekanya Orba.
    .
    Hasilnya bagaimana? Gus Dur tetap dipilih dan dipercaya warga NU untuk memimpin PBNU ketiga kalinya masa bahkti 1994-1999. Strategi Soehartois gagal-total. Hal ini membuat Prabowo semakin marah. Dia mengultimatum Gus Dur untuk diam dan bungkam, jangan kritis lagi pada mertuanya, sang penguasa orba. "Sampaikan pada Gus Dur, kalau tetap berkoar-koar seperti itu, saya punya 100 sniper (penembak jitu) yang siap membungkam Gus Dur!"
    Kalimat ancaman pembunuhan terhadap Gus Dur ini diluncurkan Danjen Kopassus (waktu itu), mayjen. TNI Prabowo Subianto. Ancaman ini disampaikan Prabowo kepada seseorang sebagai perintah. Karena merasa disuruh, orang itu benar-benar menyampaikan ancaman tadi kepada Gus Dur.
    Apa tanggapan Gus Dur? Ketua PBNU ini menanggapinya dengan dingin. "Kalau benar Prabowo bilang begitu, tolong tanyakan padanya, Pak Prabowo agamanya apa? Kalau dia menjawab Islam, tolong tanyakan, nyawa itu milik siapa?" ujar Gus Dur menanggapi ancaman Prabowo, sebagaimana ditulis oleh Muhammad Zakki, dalam bukunya "Gus Dur Presiden Republik Akherat" terbitan tahun 2009.
    .
    Gagal mengahadang laju Gus Dur di Muktamar Cipasung, operasi naga hijau pun tetap dilanjutkan malah dengan semakin ganas dan brutal. Dalam operasi naga hijau, kerusuhan sosial bernuansa SARA dibikin di daerah yang merupakan kantung massa NU. 
    Sekitar november 1996 kerusuhan massa dibuat di Situbondo, kota tempat penyelenggaraan Muktamar NU ke 27 di Pesantrennya Kyai As'ad Asembagus, Situbondo. Sasaran amuk massa adalah gereja dan toko-toko milik orang etnis Tionghoa. Korban harta benda dan nyawa manusia banyak yang melayang percuma. 
    Kemudian dibikin pula kerusuhan di Tasikmalaya. Kota penyelenggara muktamar NU ke-29, di Pesantrennya Ajengan Ilyas Ruhiyat, Cipasung. Sasarannya juga sama, gereja dan toko-toko atau bangunan gedung milik orang china.
    Pemicu kerusuhan itu selalu masalah sepele. Di Situbondo, ada orang gila yang diisukan menghina Kyai As'ad. Massa tak terima kemudian marah. Rusuh. Di Tasikmalaya, pemicunya adalah ustad pesantren yang dipanggil polisi lantas dipukuli, karena mentakzir anak polisi itu di pesantren. 
    Di pondok Krapyak Yogyakarta, tempat Muktamar NU ke 28, pada akhir Januari 1997, juga nyaris jadi sasaran untuk memicu kerusuhan sosial. Kali ini aku ikut menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Pemicunya adalah santri MTs Ali Maksum yang dipukuli oleh pemuda dari kampung gang Cuwiri. Rekan-rekan santri tak terima, kemudian memburu si pemuda pemukul itu. 
    Pemuda itu lari menuju arah rumah artis populer di jogja yang beragama nasrani. Rumah itu hampir saja jadi korban pengrusakan kalo para santri tidak dihentikan dan ditenangkan oleh Kyai Muda (Gus) kharismatik. Para pemuda masjid jogokaryan (jaraknya cuma 1 km dari pondok krapyak) yang banyak tergabung dalam GPK -Gerakan Pemuda Kakbah, saat itu ada yang menyatakan siap membantu memburu dan mengobrak-abrik kampung asal pemuda itu. 
    Namun Gus K dari Krapyak ini bisa meredamnya, karena Gus K ini sangat dihormati dan disegani oleh orang-orang GPK dan juga Jokzin. Paskhas TNI AU sampai datang ke Krapyak untuk membantu polisi mengamankan keadaan. Gagallah upaya membikin kerusuhan sosial di Yogyakarta.
    .
    Kalau operasi naga merah, sasarannya adalah menurunkan Megawati sebagai Ketua Umum PDI hasil Munas di Surabaya tahun 1993. Untuk itu, dirancang penyelenggaraan Kongres Luar Biasa PDI di Medan 1996 melalui Fatimah Ahmad sebagai caretakernya. 
    Hasil KLB itu memilih Soerjadi menjadi Ketua Umum PDI, boneka Orba. Setelah mendapat restu dari Soeharto, para fungsionaris PDI hasil KLB Medan 1996 ini berusaha merebut kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro Jakarta Pusat yang masih dikuasai oleh Megawati Soekarnoputri, Ketum PDI hasil Munas Surabaya 1993. 
    Dalam upaya mempertahankan kantor DPP PDI ini, Megawati didukung oleh banyak kelompok pro-demokrasi. Baik itu aktifis mahasiswa, LSM dan rakyat kecil. Mereka bikin panggung mimbar bebas di halaman kantor DPP selama berhari-hari.
    Karena sudah tak sabar lagi, massa pendukung Soerjadi (PDI KLB Medan) didukung oleh tentara yg aparat keamanan baik berseragam dinas dan yang lebih banyak berpakaian preman) menyerbu kantor DPP yang masih dikuasai oleh pendukung Megawati (PDI Munas 93). Bentrokan keras pun terjadi antara kedua kelompok itu. Imbasnya meluas ke kawasan sekitar Jakarta Pusat. Banyak kendaraan dirusak, gedung dibakar dan nyawa melayang. Sungguh mengerikan.
    .
    Nah, dalam Pilpres 2019 ini, apakah kita akan memilih untuk menghadirkan kembali Orde Baru melalui sosok Prabowo, keluarga Cendana dan kelompok Islam fundamentalis itu???
    .
    kata Cak Lontong, Mikiiiiiir ...!!!!!
    (Dicopas April 2019)
    5 

    View comments

Loading

No comments:

Post a Comment